“CADARKU tak BERSALAH”
Ada permintaan kawan, untuk memintaku kembali bercerpen, sudah sangat lama aku tidak menggores buat cepen, karena akhir-akhir ini aku lebih cenderung menyendiri dalam rumah tak bertuan sekaligus muntah bercengkrama dengan arwah para filsuf (hmmm).
Untuk kawan-kawan semua, cerpen yang satu ini adalah kegelisahanku kepada manusia yang tidak menghargai pilihan hidup seseorang dan bahagia ketika melempar stigma kepada orang lain, cerita ini aku tulis dengan bahasa yang sederhana karena banyak sebagian kawan-kawan yang meminta tulisan-tulisan ringan.
Akupun bingung ringan dan berat itu yang bagaimana, tapi jelas aku bukanlah kamu namun seyogyanya kita sebagai manusia sudah sepatutnya untuk saling menghargai, begitupun saya untuk menghargai setiap kritikan dan masukan yang bagiku itu bisa menjadi motivasi dan juga bagian dari dialektica tentunya.
“CADARKU tak BERSALAH”
Menjelang senja, jauh dari arah barat sang surya mulai meredupkan cahayanya. Malam segera menyapa, sebentar sang hyang surya menempatkan diri lewat celah-celah daun di reranting pohon, dan sedikit menyempatkan diri di balik awan bergumul.
Sampai akhirnya sang surya merasa lelah dan undur diri seolah-olah memberikan kesempatan pada sang rembulan. Tak terelakan awan bergumul menjadi gelap dan melambaikan salam perpisahan kepada surya yang telah menjauh, menyambut rembulan yang sudah dekat, dengan sedikit malu rembulan cantik termangu, karena dia tahu bintang-bintang kecil yang selalu bersamanya tidak ikut bersinar, benar-benar gelap… tak lama kilat putih menyambar-nyambar dan angin tak lagi membelai mesra, bertiup dengan kencang. Awan bergumul menghilang, hujan turun begitu ramai membasahi tanah menyiram semesta. Hanya sebentar lalu kebisuanpun tiba, rembulan yang malu perlahan mulai benderang bercahaya.
Aku tutup jendela kamarku dan bersandar dipinggirnya sambil memandang foto-foto di dalam album, yang penuh kenangan-kenangan di masa lalu, sungguh aku menyimpan kerinduan yang sangat mendalam, kerinduan akan masa-masa kecilku, masa remajaku, dimana pada masa-masa itu, aku selalu riang bersama teman-teman, bercanda, bermain, bertengkar dan saling berbagi kisah, aku sangat dicintai oleh mereka, hingga dunia terasa seperti rumah yg hanya di penuhi taman bermain yang penuh dengan keceriaan. Air mata tak tertahan tumpah basahi wajah, begitu terbalik apa yang kurasakan saat itu dengan keadaan sekarang. Karena soal pilihan jalan hidupku untuk mengenakan Cadar.
Mataku sudah begitu lelah menangis malam ini hingga aku tertidur di dekat jendela. Keesokan harinya, aku lihat sinar surya telah masuk lewat celah-celah jendela, dan aku mendengar suara Rina. Rina adalah adik sepupuku yang seperti adik kandungku sendiri, kami ngontrak bersama, merantau untuk bekerja di kota yang lumayan jauh dari kampung halamanku. “Mbak, mbak Arin bangun mbak sudah siang ni, katanya mau kepasar cari buku, ayo bangun mbak ntar Rina temanin” ajak Rina, “iya iya bentar rin, kmu duluan aja mandi, bentar lagi mbak bangun” sahutku dengan mata yang masih terasa lelah.
Setelah mandi dan beres-beres rumah kontrakan, kami pun bersiap untuk pergi kepasar, sebelum berangkat aku termangu di depan cermin, Ya Allah sungguh engkau lebih tahu apa yang terjadi pada hambamu, sungguh hanya kepada engkau aku pasrah dan berserah diri akan hidupku, lalu akupun mengenakan cadar dan Rina sudah menunggu di depan pintu. “Ayo Rin kita berangkat” ajaku, “Ayo mbak” jawab Rina. Lalu kami berdua berjalan menuju pasar untuk ke tokoh buku. “Mbak, nanti kita mampir ke bakso pak man ya, aku pengen sekali makan bakso mbak” kata Rina kepadaku. “Iya, iya bawel, ntar kita kesana” sahutku.
Sesampainya dipasar, aku melihat semua mata hampir tertuju pada kami berdua, apalagi kepada diriku, bahkan yang berjalan di dekat kami, seolah-olah menyingkir dan mengambil jarak, Aku kasihan dengan Rina karena cadarku dia juga ikut merasakan apa yang aku rasakan. “Ninja, hei lihat-lihat ada ninja tuh” teriak anak-anak kecil dipasar, bahkan ada yang sembunyi di belakang ibunya, “jangan dekat-dekat dia, nanti kamu diculiknya” kata ibu itu kepada anaknya, dan perkataan itu jelas sekali ditelingaku. Rasanya hatiku penuh dengan sayatan yang lebih perih dari sembilu, kepalaku seperti dihujani batu-batu lautan, langkahku tampak terasa berat sekali, tuhan ampunilah mereka yang tidak mengetahui. Sepertinya Rina memahami yang aku rasakan.
“Mbak, yuk lanjutin aja jalanya, gak usah di dengarin mereka, toh bukankah mbak nyaman dengan pilihan mbak” hibur rina kepadau. “Iya rin, kenapa aku selalu menuai stigma negati seperti ini, sementara pilihanku untuk mengenakan cadar adalah pilihan dari hatiku yang paling dalam” ungkapku kepada Rina.
Singkat cerita, buku yang aku inginkan sudah aku dapatkan, dan kami lanjutkan perjalanan ke warung bakso pak Man, karena Rina ingin sekali makan bakso. Kamipun tiba di warung bakso, warung sedikit ramai, ada yang antri, dan ada juga yang sudah menikmatin baksonys di meja makan warung. Kami berdua ikut antri tidak terlalu panjang, di antrianpun ibu-ibu seperti mengambil jarak padaku, dan ada yang berbisik rada keras kepada temanya, “jangan dekat-dekat dia nanti kamu di BOM” kata ibu-ibu kepada temanya, “iya ya, kenapa juga di cadar segala, sok-sok’an, jangan-jangan untuk menutupin wajahnya yang bopeng atau penuh panu, ihhh amit-amit” sahut temanya, dan anaknya memegang megang jilbab panjangku, “buk buk kayak ninja” “sini gak usak dekat-dekat sana nanti ada yang meledak, tuh aliran keras” jawab ibunya.
“Ayo mbak nanti aja kita beli bakso, kita pulang aja yuk” ajak Rina yang sangat tahu apa yang aku rasain. Ingin sekali aku melumat bibir mereka, dan mencabik-cabik mereka, tapi apalah daya jika semua itu aku lakuin, maka sia-sialah apa yang aku harapkan untuk menjadi diri yang penyabar dan soleha di mata tuhan. Kamipun mengurungkan niat untuk beli bakso pak Man, dan melanjutkan perjalanan, melangkah menuju rumah.
Tiba dirumah akupun bergegas masuk kamar, sepertinya air mata mau menemanin kesedihanku yang mendalam, yang tak bisa lagi kutahan sejak dari pasar tadi. Tuhan aku pasrahkan semua hinaan, caci maki dan stigma negatif mereka terhadapku, juga olok-olok anak-anak mereka, Tuhan… betapa berat semua ini namun aku selalu yakin akan kekuatanmu—-kuatkanlah aku ya rabb. Rina pun masuk ke kamar menghapiriku dan duduk disampingku. “Sudahlah mbak, tak usah menangis terus seperti ini, bukankah mbak sudah memutuskan untuk mengenakan cadar dan itu pilihan mbak sendiri’ hibur Rina kepadaku. ” Iya rin, aku bukan ninja, aku bukan teroris, aku bukan aliran keras, aku bukan menutupin wajahku yg bopeng dan panuan, seperti yang mereka gunjingkan dan lontarkan kepadaku, aku hanya manusia biasa yang sama seperti mereka” jawabku pelan.
“Aku mengenakan cadar, hanya mengikuti para istri rasul seperti Aisyah dan yang lainya. Meski tidak di jelaskan didalam alqur’an dan hadist, tetapi Rasullulah tidak melarang Aisyah ketika menggunakan cadar, jika ini haram, sudah jelas rasul melaranganya, tapi justru rasul mendiamkanya dan menyetujuinya, Aisyah adalah wanita yang soleh hingga menjadi istri rasul yang sangat diutamakan dan disayanginya. Di sisi lain mana yang lebih hina “perempuan bercadar” atau mata lelaki yang jelalatan.” jelasku kepada Rina. “Iya mbak, setahuku dulu orang-orang arab mengenakan cadar juga merupakan budaya, dan juga disana penuh padang pasir, berdebu, juga terik mentari yang sangat menyengat, sebenarnya jika itupun budaya tapi toh rasul juga tidak melarangnya, contohnya Aisyah yang mbak katakan tadi, namun budaya kita tidak demikian” ungkap Rina, “iya Rin, tapi bukan berarti kebebasan akan pilihanku dijatah, digunjing, dimaki dengan stigma-stigma negatif itu.” sahutku. “Yawda mbak, gak usah di hiraukan, meski mereka ngatain mbak sok alim, ninja, teroris, aliran keras, menutupin wajah bopeng, dll, Allah lebih tahu hambanya mbak, karena dia maha segalanya” Rina mencoba menghiburku. “Mbak tetap tawakal, aku masak dulu ya mbak, sudah cukuplah air matamu kau deraikan mbak, para istri rasul itu tangguh, mbak juga tangguh” ungkap Rina sambil keluar dari kamarku untuk melaksanakan niatnya untuk memasak.
Aku merasa kesedihan dan kesulitanku kian menumpuk seperti sudah sangat menggunung. Setiap berjumpa dengan mereka, pada rebutan menumpahkan stigma yang membuat dadaku terasa sempit, saking penuhnya. Bukankah para koruptor itu lebih nista dari cadar ini, bukankah mereka yang memperlihatkan paha, belahan dada lebih hina dari cadar ini, bukankah mereka yang bakar-bakar ban dan saling lempar batu di jalanan lebih keras dari cadar ini, bukankah mereka yang menggujing merumpi sesama saudara sendiri lebih keji dari cadar ini, bukankah mereka yang lebih sibuk shoping dan belanja sementara tetangganya kelaparan lebih kejam dari cadar ini, bukankah mereka yang saling mengkafiri lebih hina dari cadar ini.
Aku bukan tukang bom, bukan ninja, bukan menutupin wajah yang buruk ataupun baik, bukan aliran keras, aku lemah seperti kalian, aku hanya manusia biasa yang selalu berusaha mencari kebaikan dan keutamaan seperti kalian. Kenapa aku harus dipinggirkan. CADAR ini tak bersalah, dan aku telah menentukan pilihan ini untuk jalan hidupku, aku tak pernah mengusik kalian. Tapi kalian melempari wajahku dengan makian, stigma dan cercaan, mana yang lebih keras. Begitu hinakah cadar ini. Begitu tega kalian menjustice saya , memarginalkan saya dan menyebut saya sok-sok’an dan sebagainya. Bukankah tuhan lebih mengetahui apa yang hambanya lakukan, dan sementara aku selalu mencoba menghargai pilihan kalian. Sungguh aku sama seperti kalian yang punya mimpi, harapan, cinta, cita-cita juga hati sebagai manusia dalam kesetaraan dan kemanusiaan dihadapan Tuhan. Cadarku tak bersalah.(bersambung).
_________________________________________
Salam losa.
sumber : Seword.com
0 komentar:
Posting Komentar