Tragedi pembantaian Guru Ngaji di Jawa Timur

(asepprogresif/istimewa)

Sepanjang tahun 1998, masyarakat NU di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi dan sekitarnya, mengalami kegetiran luar biasa. Di kantong-kantong NU di wilayah ini terjadi gelombang pembunuhan atas guru-guru ngaji NU.

Pembantaian tersebut memakai kedok “menghabisi dukun santet”. Para pembunuhnya adalah orang-orang misterius dengan berpakaian ninja.

Saat terjadi pemubunuhan berantai para guru ngaji NU ini, Presiden Soeharto baru saja lengser. Jabatannya sebagai presiden digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie, orang dekat Soeharto. Habibie juga menjadi orang nomor satu di ICMI, organisasi yang sejak awal didirikan telah dikritik oleh Ketua Umum PBNU saat itu, Gus Dur, namun tidak mewakili aspirasi kalangan Nahdliyin.

Gelombang pembunuhan berantai ini menimbulkan provokasi di kalangan msyarakat bawah NU. Tujuannya agar masyarakat melakukan tindakan kekerasan. Provokasi ini tidak berhasil secara baik.

Awalnya pembunuhan dilakukan terhadap dukun santet oleh orang-orang terlatih. Mereka bergerak cepat dari kampung ke kampung. Sang pembantai segera setelah itu menghilang. Tampak sekali para pembunuhnya adalah pasukan terlatih. Hanya ada dua kemungkinan, mereka yang terlatih adalah para jawara atau pasukan khusus militer.

Segera setelah itu, pembunuhan beralih terhadap guru-guru ngaji di kalangan Nahdliyin. Hal ini tentu menimbulkan keresahan, simpang siur, saling tegang, dan curiga di kalangan bawah NU. Atas kejadian getir itu, PWNU Jawa Timur membentuk Tim Investigasi PWNU. Tim ini diketuai oleh Choirul Anam. Tim melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengungkap kejahatan pembantaian atas para ngaji NU ini.

Data dan fakta yang berhasil dikumpulkan benar-benar menggetirkan. Korban tewas jumlahnya sangat fantastis, yaitu 253 orang. Mereka dibantai di desa-desa di tujuh kabupaten di Jawa Timur. Secara bergelombang pembantaian dilakukan di Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang. Korban tewas terbanyak ada di Banyuwangi, yaitu 148 orang.

Dalam temuan Tim, mereka yang mati dibantai secara sadis. Ada yang digantung, dijerat dengan tali, dibakar bersama rumahnya, dipukuli lalu dibacok, dibakar dengan bensin, dan dianiaya massa. Sebagian besar yang mati itu adalah para guru ngaji dan warga NU. Bahkan di antaranya ada pengurus ranting NU dan pengurus masjid.

Temuan penting lain dari Tim adalah adanya keterlibatan sejumlah pejabat setempat dalam pembunuhan berantai tersebut. Yang disebut-sebut adalah Bupati Banyuwangi T. Purnomo Sidik, Komandan Kodim Letnan Kolonel Subiraharjo, dan Kepala Polres Banyuwangi Letnan Kolonel Edy Moerdiono.

Salah satu bukti kuat yang ditemukan Tim adalah fotokopian radiogram Bupati yang ditujukan kepada para kepala desa. Radiogram ini dikirim lewat para camat di wilayahnya, tertanggal 10 Februari 1998, bernomor 300/70/439.0131/ 1998. Instruksi radiogram itu adalah agar aparat di bawah mendata orang-orang yang diduga berpraktik sebagai dukun santet. Hasilnya adalah adanya daftar mereka yang dianggap sebagai dukun santet.

Daftar ini jatuh ke tangan khalayak umum. Daftar ini menjadi salah satu pemicu gelombang kekerasan yang berujung pada pembunuhan para guru ngaji. Jumlah korban melonjak drastis selama bulan Juli, Agustus, dan September 1998. Ada seratusan lebih korban, termasuk sejumlah guru ngaji dan ulama setempat.

Para pelakunya sangat profesional dan bukan penduduk setempat. Pelakunya adalah orang-orang berpakaian ala ninja yang beroperasi secara rapi dan sistematis. Tim Investigasi PWNU menemukan provokatornya ternyata terdiri dari para gerombolan preman dan bromocorah. Salah seorang yang pernah disebut Choirul Anam dalam memaparkan temuan investigasinya adalah Agus Indriawan. Ia adalah preman yang sehari-harinya berprofesi sebagai calo pengujian kendaraan bermotor di Kantor DLLAJ Banyuwangi. Kelompok Agus ini merekrut para pembantai yang berasal tidak hanya dari Banyuwangi. Ada yang datang dari Surabaya dan sekitarnya.

Laporan Tim Investigasi PWNU menyebutkan rekrutmen komplotan Agus dilakukan secara terencana dan rahasia. Para pembantai direkrut sebagai pembunuh bayaran. Uang imbalannya ada yang sebesar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Di berbagai tempat, untuk memudahkan para pembantai melaksanakan tugasnya, komplotan itu memberikan rambu khusus. Setiap calon korban di sekitar rumahnya diberi tanda panah merah. Menandakan sang korban harus dibantai.

Ketika isu ini menghangat dan praktik-praktik pembunuhan terus terjadi, harian Republika (1 Oktober 1998) yang dekat dengan ICMI memuat berita sensasi. Koran ini menuduh orang-orang eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) membayar orang-orang untuk membunuh sejumlah dukun santet di Banyuwangi. Padahal yang dibunuh adalah para guru ngaji NU, sehingga berita ini membuat penyesatan.

Spanduk-spanduk atas nama DDII yang didirikan orang-orang eks Masyumi bertebaran di berbagai jalan besar. Mereka menuduh dan mengingatkan munculnya bahaya komunis. Tuduhan ini sama dengan yang dilakukan militer. Saat itu militer menggunakan pola stigma komunis untuk menciptakan kesimpangsiuran dan mengalihkan siapa pelaku sebenarnya.

Dandim 0825 Banyuwangi Letkol (Inf.) Subihardjo dalam dialog masalah santet di Polres Banyuwangi pada 23 September 1998 mengemukakan hal yang sama. Bahkan Kepala Kepolisian RI mengatakan bahwa pola tindakan para pelaku pembantaian disusupi gerakan PKI. Di sini tampak adanya saling dukung analisis yang sangat sistematis.Analisis seperti itu tidak tidak dipakai oleh Tim Investigasi PWNU. Ketika diadakan penyelidikan lebih jauh ternyata ada beberapa anggota ABRI yang terlibat dalam pembantaian keji tersebut. Paling tidak ada dua oknum anggota ABRI yang diduga tersangka dalam pembantaian di Banyuwangi.

Majalah D&R edisi No. 017, 12 Desember 1998, juga mencatat keterlibatan empat oknum anggota ABRI. Sayangnya pihak ABRI membantah keterlibatan empat oknum tersebut. Melalui siaran pers pada 10 Oktober 1998 bantahan itu dilakukan. Padahal Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Timur telah memberi keterangan kepada pers pada 9 Oktober 1998 tentang penangkapan empat oknum ABRI. Jadi, kesan menutupi adanya keterlibatan anggota ABRI tampak terang.

Gus Dur sebagai Ketua PBNU benar-benar geram melihat kenyataan itu. Namun ia tetap hati-hati. Gus Dur menyerukan agar orang NU tidak sembrono menuduh ada penyusupan komunis meskipun hal itu telah dilontarkan dan provokasi oleh Republika dan dikampanyekan militer. Seruan Gus Dur kemudian dibacakan oleh KH Said Aqil Siradj di halaman Kampus UI, Salemba, Jakarta, pada 1 Oktober 1998.

KH Sad Aqil Siradj mengingatkan agar orang-orang NU tidak menjadi korban terus. Masyarakat NU jangan mau menjadi objek yang dihadap-hadapkan dengan sosok yang dibuat-buat. Padahal kenyataannya pelakunya sangat terlatih, bukan bayangan yang dibuat-buat. Seruan ini untuk mengritik tuduhan para pejabat dan harian Republika yang dekat dengan ICMI , serta spanduk-spanduk DDII. Mereka mengaitkan pembunuhan berantai itu dengan gerakan komunis.

Pada 14 Oktober 1998 tokoh-tokoh NU mengadakan rapat di Tuban yang diikuti lebih dari 2.000 kiai. Mereka bertemu dengan para pejabat kaamanan dari Jawa Timur. Para kiai langsung menghujani para pejabat. Mereka menyebut pejabat keamanan memberi dukungan dalam pembunuhan berantai guru ngaji NU itu.

Peristiwa ini kemudian menimbulkan sebuah analisis adanya operasi tertentu. Gus Dur setelah itu menyebut adanya Operasi Naga Hijau. Yang menjadi korban adalah warga NU bawah menjelang Pemilihan Umum 1999. Adanya penggunaan isu komunis dimaksudkan untuk menggilas orang-orang NU dan mengaduk-aduknya. Pengipasnya antara lain Republika dan spanduk-spanduk DDII yang memperoleh angin karena Habibie saat itu sedang menjadi presiden.

Kasus pembantaian para guru ngaji ini oleh Komnas HAM pernah hendak diselediki kembali. Pada 2007, ada niat untuk menjadikan kasus ini berindikasi kuat pelanggaran HAM. Tapi hasilnya tidak menunjukkan kemajuan apa pun. Kejahatan pembantaian atas para guru ngaji sampai sekarang diingat sebagai salah satu tragedi menggetirkan bagi warga NU, sekaligus menunjukkan penyelesaian yang tidak jelas atas kejahatan tersebut.
(Penulis : Nur Kholik Ridwan, warga NU)
Share on Google Plus

Tentang Asep Progresif

Saya, Asep Progresif lahir di Malang, 26 juni 1989 dengan nama Asep S, memiliki 3 orang putra-putri yang manis bernama Muhammad Haidar Musyaffa’ Khairullah, Muhammad Zamzamy Zainul Muttaqin, Mumtazah Nur Alisha Safaluna serta Istri yang juga seorang sahabat bernama Romlah. Hubungi saya, HP/WA : 0811 377 2007
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar