Jangan Mengaku “Penulis” Jika Kalian Belum Merasakan Hal-Hal Ini

Mengulas dunia literasi yang erat kaitannya dengan membaca dan menulis sarat akan ilmu pengetahuan. Literasi membuka wawasan setiap orang. Tanpa perlu uang banyak, kita bisa berkeliling dunia dengan membaca. Tak perlu mencari orang yang bisa diajak ngobrol, dengan menulis kita bisa tuangkan ide luar biasa sesuka hati.
Membaca dan menulis merupakan satu rumpun literasi. Dengan membaca kita tahu banyak hal, dengan menulis kita bisa lebih paham mengenai ilmu yang kita ketahui. Selain lebih paham untuk diri kita, menulis juga menjadi perantara untuk menyalurkan ilmu yang kita miliki agar lebih bermanfaat bagi khalayak umum.
Membaca memang dapat dilakukan oleh hampir seluruh orang. Tapi untuk menulis? Ada beberapa orang bilang, menulis bisa jadi bakat, kebiasaan, pekerjaan, dan lainnya. Tapi bagi kalian yang mengaku "penulis" coba lihat diri kalian lagi, apakah hal-hal berikut telah terjadi pada diri kalian.

1. Tulisan Adalah Cerita, Penulis Adalah Petualang

Penulis memang melahirkan karya berupa tulisan. Tapi hanya penulis yang berpetualanglah yang akan menghasilkan karya terbaik. Berpetualang tidak harus diartikan sebagai pergi jauh dan mengembara di tengah rimba luas, gunung tinggi, atau samudera. Tapi cukup bagi seorang penulis mendapat inspirasi dari petualangan imajinasinya. Terkadang penulis ekspresionis juga menitik beratkan pada perasaan dan keadaan hati. Ada pula penulis yang sengaja melakukan riset agar karyanya tampak nyata dalam imajinasi pembaca. Tentu dengan riset pula, karya yang semula dianggap fiksi menjadi terimajinasi layaknya kenyataan.

2. Menulis Adalah Candu

Menulis bukan sekadar kebiasaan yang biasa, pekerjaan yang ringan, dan kegiatan yang sembarangan. Tapi menulis adalah candu bagi penulis berilmu. Dengan menulis seorang penulis akan merasa jiwanya hidup, raganya aktif, dan pikirannya bekerja semestinya. Tak hayal jika para penulis yang benar-benar berniat menulis dengan menyebarkan ilmu menjadi seorang penulis yang cerdas.
Penulis memang makhluk cerdas. Mereka para pecandu kata, pengrajin frasa. Setiap kejadian tak luput dari ingatannya. Setiap ide selalu ia tulis agar segera terealisasi. Mereka penulis yang sebenarnya adalah kaum-kaum penuh kebahagiaan, kesejahteraan, dan juga kecanduan.

3. Bagaimanapun, Penulis Adalah Jiwa-Jiwa Penuh Kebahagiaan

Ketika penulis menjadi seorang yang genius, itu hal yang biasa. Bahkan para ilmuwan pun tak lupa menulis temuannya dalam bentuk naskah, esai, rumus, dan lainnya. Bukankah ilmuwan melakukan eksperimen dengan rasa ingin tahu, dengan modal ilmu, dan kreativitas serta inovasi demi kemajuan keilmuan juga.
Jadi sama halnya dengan seorang penulis, mereka adalah raga yang terbebas, jiwa yang bahagia. Mereka memang cerdas, setiap kalimat yang tercipta adalah hasil pikiran yang murni. Pikiran-pikiran penulis adalah lembaran ide suci. Maka dengan menulis seorang penulis adalah jiwa yang kuat dalam segala keadaan. Dalam segala pemikiran, mereka terus menulis. Dalam ribuan karya, mereka tetap menulis. Dalam ribuan tahun mereka hidup dan mereka bahagia.

4. Penulis VS Penyadur

Penulis dan penyadur memang sekilas terlihat sama. Mereka sama-sama menulis, melakukan pekerjaan menulis, menghasilkan tulisan dan karya. Tapi perlu kita ketahui bahwa penulis dan penyadur adalah dua makhluk Tuhan yang sangat berbeda.
Penulis merupakan subjek yang melakukan kegiatan menulis, menghasilkan tulisan, dan berilmu karena membaca bahan bacaan. Penulis juga melakukan berbagai hal yang menunjang mutu dan kualitas tulisannya. Misalnya seperti riset, wawancara, membaca referensi, bahkan mengagumi penulis lain dari karyanya. Banyak dari penulis termotivasi dari penulis andal lainnya. Melalui penulis favorit akan melahirkan penulis-penulis dengan idealisme yang lebih beragam lagi. Maka bisa dikatakan penulis adalah seorang yang berkarya dengan ikhlas, demi kebaikannya dan kemaslahatan semua orang.
Penyadur adalah subjek mengapa penulis menjadi sedikit merasa geram. Pantas jika tulisan baik dikagumi, tapi mengapa tulisan yang seharusnya membuka cakrawala pembaca justru sering disadur? Ya, keinginan penulis untuk menerbitkan karya terbaik bukanlah sekadar mimpi, tapi itu adalah keinginan yang wajib terwujud. Maka terkadang jika memang benar-benar bagus, tulisan itu rawan akan penyaduran. Entah apa yang dalam pikiran seorang penyadur, dengan mengambil karya dan mengatasnamakan karya tersebut atas nama dirinya. Sebuah kenyataan yang sangat berbeda dibanding penulis sebenarnya. Jika penulis rela melakukan riset yang begitu ribet, penyadur hanya mengedit kalimat yang sama artinya.
Jadi, menjadi penulis tidak semudah mengayuh sepeda roda empat, memainkan pena di atas kertas, atau mencetak kalimat yang tiada artinya. Penulis adalah dewa dan dewi pemuja ilmu. Mereka tahu karena mereka berilmu.

5. Menulis Adalah Jalan Bagi Para Petualang yang Enggan Membiarkan Pengalamannya Berlalu

Di atas sudah disebutkan bahwa penulis adalah seorang petualang. Dan petualang itu adalah penulis. Jika beberapa penulis memiliki latar belakang seorang traveller, pecinta alam, giat kuliner, atau pengembang masyarakat, maka tulisan mereka mengenai pengalaman akan sangat berbeda dengan tulisan dari penulis lainnya. Jika banyak penulis adalah jiwa-jiwa yang memiliki banyak rasa, maka jiwa-jiwa para travell blogger adalah jiwa-jiwa yang enggan move on setelah berpergian.
Bagi mereka perjalanan adalah kebahagiaan, cerita, dan kenangan. Sehingga kenangan yang tercipta melalui ingatan akan terus dapat dikenang melalui tulisan. Agar semua tak berlalu begitu cepat, dan usia terasa masih belia, pengalaman memang segala bagi mereka yang disebut penulis.

6. Bagi Penulis, Karya Bukan Sekadar Cetakan Kalimat. Itulah Nyawa Mereka

Untuk beberapa penulis memang mengira penyaduran adalah hal biasa. Karena setiap orang memang berbeda paham mengenai inspirasi. Tapi bagi banyak penulis yang merasa menulis, berkarya dengan hati dan cinta, mereka tak akan rela sedikitpun hasil pikirannya disadur. Beberapa dari mereka menganggap karyanya adalah segalanya, bahkan nyawanya. Karena dengan nyawa sang penulis bisa terus berkarya. Tanpa nyawa apalah arti raganya dan otakknya tanpa nyawa yang disandang.
Maka, sudah sepatutnya jika penulis dihormati dengan layak seperti mutu tulisannya. Bukankah pikiran dan idealisme seorang selalu berbeda. Jadi tak hayal jika penulis juga manusia yang memiliki hati dan cinta melalui tulisannya.
Share on Google Plus

Tentang Asep Progresif

Saya, Asep Progresif lahir di Malang, 26 juni 1989 dengan nama Asep S, memiliki 3 orang putra-putri yang manis bernama Muhammad Haidar Musyaffa’ Khairullah, Muhammad Zamzamy Zainul Muttaqin, Mumtazah Nur Alisha Safaluna serta Istri yang juga seorang sahabat bernama Romlah. Hubungi saya, HP/WA : 0811 377 2007
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar